ABSTRAK
Berita
tentang rangking universitas yang marak dipublish di berbagai media menjadi
sorotan dan fokus perhatian dunia pendidikan khususnya pimpinan perguruan
tinggi dan jajarannya. Berbagai upaya dilakukan perguruan tinggi untuk mencapai
rangking yang lebih baik. Selain untuk prestise, rangking universitas juga
menjadi modal yang tepat untuk menarik minat mahasiswa baru. Salah satu faktor
penentu rangking adalah ketersediaan konten dan sitasi. Ke dua hal ini sangat
berkaitan erat dengan perpustakaan. Sayangnya, perpustakaan tidak selalu
dilibatkan dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan visi universitas.
Perpustakaan seringkali hanya ditempatkan sebagai pelaksana dari sebuah
kebijakan di lembaganya. Oleh karena itu perpustakaan perlu memahami apa saja
yang dapat mereka lakukan untuk mendukung universitas mencapai rangking yang
lebih baik.
Kata kunci:
rangking universitas, universitas kelas dunia, world class library.
—————————————————————————–
PENGANTAR
Menjadi
universitas kelas dunia.
To be world class university.
To reach world class university.
Kalimat-kalimat
di atas atau yang mirip-mirip dengan itu kini mudah sekali dijumpai di
halaman-halaman iklan sebuah perguruan tinggi, atau di spanduk-spanduk di
lingkungan kampus, atau di billboard yang ada di kota-kota dimana universitas
tersebut berada. Kalimat-kalimat itu tidak hanya menjadi visi bagi universitas
tapi juga sekaligus motto atau semboyan bagi para sivitas akademikanya.
Di media cetak atau media elektronik, marak pula berita tentang
rangking-rangking universitas yang sekarang menjadi incaran para pimpinan
universitas. Hiruk pikuk rangking ini tidak hanya melanda pimpinan universitas
dan jajarannya, tapi juga para calon mahasiswa baru. Sebelumnya mungkin calon
mahasiswa cukup melihat ketersediaan fasilitas, besarnya uang kuliah, nama-nama
pakar yang menjadi staf pengajar, dan sistem perkuliahan yang diterapkan di
sebuah universitas sebagai pertimbangan memilih tempat menimba ilmu. Kini,
rangking universitas menjadi salah satu acuan bagi para calon mahasiswa.
Fenomena
rangking universitas ini tak pelak lagi berdampak kemana-mana, sehingga para
pimpinan universitas terlihat begitu ’ngotot’ memperjuangkannya. Kenyataannya,
semangat meraih rangking ini tidak selalu selaras dengan kebijakan yang
ditempuh sebuah universitas. Pimpinan universitas seringkali hanya fokus pada
nomor rangking yang ingin dicapai tanpa menganalisis dengan cermat
langkah-langkah apa saja yang paling efektif dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut, dan unit-unit mana yang paling harus diberdayakan. Di pihak lain,
pustakawan pun nampaknya tidak terlalu paham bagaimana mengambil peran dan
menempatkan diri dalam mendukung lembaga mencapai visinya. Pustakawan cenderung
hanya menunggu komando dari pimpinan universitas, dan ketika komando itu turun
pustakawan pun pontang-panting…-)
Artikel ini
akan membahas bagaimana Perpustakaan sebagai unit penyimpan dan pengeloa
content di universitas memainkan peran sangat dominan dalam pencapaian rangking
tersebut.
RANGKING
UNIVERSITAS: APA SAJA SIH?
Ada beberapa
jenis perangkingan atau sistem pemeringkatan universitas di dunia dan dikelola
oleh lembaga-lembaga yang berbeda (informasi lengkap dapat diakses di
http://ed.sjtu.edu.cn/rank/2006/ARWU2006Resources.htm). Beberapa pemeringkatan
yang jamak terdengar di masyarakat akademis adalah ARWU (Academic Ranking World
University), The Times Higher Education Supplement (THES), dan Webometrics. Ke
tiga jenis pemeringkatan ini menggunakan rumus atau pola yang berbeda dalam
menentukan rangking sebuah universitas. Berikut ini akan kita bahas secara singkat
model pemeringkatan ketiga-tiganya.
Academic
Rangking of World Universities (ARWU)
Sistem ini dibangun oleh Institute of Higher Education, Shanghai Jiao Tong
University (IHE-SJTU), Cina. Konon, ARWU tergolong perangkingan universitas
yang cukup dipercaya dan akurat karena teknik serta metodologi yang digunakan
diakui oleh dunia akademisi internasional. Produk dari tim ARWU ini
menghasilkan study group bernama International Rankings Expert Group serta
konferensi bertaraf internasional yang disebut dengan International Conference
on World-Class Universities.
Publikasi
rangking universitas versi ARWU dimulai pada Juni 2003, dan diperbarui setiap
tahun selalu. Pada tahun 2007 mereka melakukan penambahan fitur dengan rangking
universitas di lima bidang ilmu (Natural Sciences and Mathematics (SCI),
Engineering/Technology and Computer Sciences (ENG), Life and Agriulture
Sciences (LIFE), Clinical Medicine and Pharmacy (MED), Social Sciences(SOC)
(lihat http://www.arwu.org/aboutARWU.jsp.)
Perhitungan
rangking universitas versi ARWU didasarkan pada 6 faktor utama, yaitu: Alumni,
Award, HiCi, PUB, TOP, dan Fund. Penjelasan singkat ke 6 faktor tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Alumni:
total jumlah alumni yang pernah mendapatkan penghargaan nobel (Nobel Prize) di
bidang fisika, kimia, ekonomi dan kedokteran serta meraih Field Medal di bidang
matematika. Penghitungan bobot (weight) didasarkan pada kebaruan tahun
mendapatkan penghargaan tersebut, sehingga semakin lama tahun penghargaan
diperoleh, semakin kecil bobot prosentase nilainya.
2. Award:
total jumlah staf saat ini yang mendapatkan penghargaan nobel (Nobel Prize) di
bidang fisika, kimia, ekonomi dan kedokteran serta meraih Field Medal di bidang
matematika.. Bobot penilaiannya sama dengan Alumni.
3. HiCi:
jumlah peneliti (dosen) yang mendapatkan nilai sitasi tinggi (high cited
researcher) atau yang penelitiannya banyak dikutip oleh peneliti lain, dalam 20
kategori subyek berdasarkan publikasi resmi dari http://isihighlycited.com.
4. PUB:
total jumlah artikel yang diindeks oleh Science Citation Index-Expanded dan
Social Science Citation Index (http://www.isiknowledge.com).
5. TOP:
prosentase artikel yang dipublikasikan dalam top 20% jurnal internasional dari
berbagai bidang ilmu. Penentuan top 20% jurnal adalah berdasarkan nilai impact
factors dari Journal Citation Report (http://www.isiknowledge.com).
6. Fund:
total jumlah anggaran biaya penelitian dari sebuah universitas. Data didapatkan
dari negara dimana universitas berada dan dari institusi-intitusi pemberi dana
penelitian.
The Times
Higher Education Supplement (THES)
THES bekerjasama dengan QS Top Universities menyajikan informasi rangking
universitas yang dikemas dalam bentuk cetak (buku) maupun elektronik (situs
web), bagi calon mahasiswa di seluruh dunia yang sedang memilih universitas
untuk masa depannya. Pemeringkatan universitas menurut THES menggunakan 4
kriteria utama, yaitu:
1) Kualitas
Penelitian (Research Quality) memiliki bobot yang paling tinggi (60%). Ada dua
indikator yang dinilai yaitu: hasil peer review dan sitasi per fakultas. Hasil
peer review diperoleh dengan cara menyebarkan angket secara online ke 190.000
akademisi dimana mereka diminta menjawab pertanyaan berdasarkan bidang
kepakaran mereka, yaitu Arts & Humanities, Engineering & IT, Life
Sciences & BioMedicine, Natural Sciences dan Social Sciences. Setelah itu
mereka diminta memilih 30 universitas terbaik dari wilayah mereka sesuai dengan
bidang kepakaran tersebut. Sedangkan sitasi per fakultas atau citations per
faculty dihitung dari jumlah publikasi paper dari peneliti (professor) di
univesitas tersebut dan jumlah citation (kutipan) berdasarkan data dari the
Essential Science Indicators (ESI).
2) Kesiapan
Kerja Lulusan (Graduate Employability) dinilai berdasarkan hasil survei
terhadap 375 perekrut tenaga kerja. Bobot penilaiannya adalah 10%.
3) Pandangan
Internasional (International Outlook) adalah jumlah fakultas yang menyediakan
program internasional dan jumlah mahasiswa yang mengikuti program tersebut.
Bobotnya 10%.
4) Kualitas
Pengajaran (Teaching Quality) memiliki bobot penilaian sebesar 20% yang dinilai
dari indikator rasio jumlah mahasiswa dan fakultasnya (student faculty).
Ke empat
kriteria tersebut diuraikan ke dalam berbagai indikator penilaian dimana
masing-masing indikator memiliki bobot (weight) yang berbeda. Lengkapnya ada
dalam gambar di bawah:
Sumber: http://www.timeshighereducation.co.uk
Webometrics
Berbeda dengan pemeringkatan versi ARWU dan THES, perangkingan ala webometrics
didasarkan pada aksesibilitas situs universitas dan publikasi di google
scholar. Menurut Romy Satrio, rangking webometrics kebanyakan mengambil faktor
“kehidupan” universitas di dunia maya, termasuk aksesibilitas dan visibilitas
situs universitas, publikasi elektronik, keterbukaan akses terhadap hasil-hasil
penelitian, konektivitas dengan dunia industri dan aktivitas internasionalnya.
(http://romisatriawahono.net/2007/09/26/teknik-perangkingan-universitas-ala-webometrics/).
Perangkingan
ala Webometrics dipelopori oleh Cybermetrics Lab, sebuah group penelitian dari
Centro de InformaciĆ³n y DocumentaciĆ³n (CINDOC) yang merupakan bagian dari
National Research Council (CSIC), Spanyol. Mereka mulai melakukan perangkingan
universitas pada tahun 2004, dan mempublikasikan rangking universitas setiap
enam bulan sekali (bulan Januari dan Juli). Tak heran, sekarang ini bulan
Januari dan Juli menjadi bulan yang sangat dinantikan dan mendebarkan bagi para
pimpinan universitas. …-)
Masih menurut Romy, indikator penilaian rangking berbasis Web ini cukup unik,
meskipun sebenarnya tetap memiliki hubungan erat dengan ilmu scientometric dan
bibliometric. Romy juga menilai bahwa webometrics ini adalah sebuah peluang
menarik bagi universitas-universitas di negara berkembang untuk bisa menikmati
rangking universitas dunia karena kuncinya adalah bagaimana universitas bisa
memperbanyak konten (scientific paper) yang dibagi ke publik, diindeks di mesin
pencari, dan sedikit kepintaran universitas memainkan Search Engine
Optimization (SEO) untuk mengarahkan mesin pencari ke situs universitas.
Kenyataannya, perguruan tinggi di Indonesia memang hanya bisa masuk di
penilaian webometrics, karena indikator penilaiannya hanya sebatas ‘kehidupan’
di dunia maya….-(
Webometrics
menentukan rangking universitas berdasarkan pada empat faktor utama yaitu:
Visibility (V), Size (S), Rich Files (R), dan Scholar (SC). Uraian lengkap
mengenai ke empat faktor ini dikutip dari situs Romy Satrio Wahono di
http://romisatriawahono.net/2007/09/26/teknik-perangkingan-universitas-ala-webometrics/
:
1)
Visibility (V): jumlah total tautan eksternal yang unik yang diterima dari
situs lain (inlink), yang diperoleh dari Yahoo Search, Live Search dan Exalead.
Untuk setiap mesin pencari, hasil-hasilnya dinormalisasi-logaritmik ke 1 untuk
nilai tertinggi dan kemudian dikombinasikan untuk menghasilkan peringkat.
2) Size (S):
jumlah halaman yang ditemukan dari empat mesin pencari: Google, Yahoo, Live
Search dan Exalead. Untuk setiap mesin pencari, hasil pencarian
dinormalisasi-logaritmik ke 1 untuk nilai tertinggi. Untuk setiap domain, hasil
maksimum dan minimum tidak diikutsertakan (excluded) dan setiap institusi
diberikan sebuah peringkat menurut jumlah yang dikombinasi tersebut.
3) Rich
Files (R): volume file yang ada di situs Universitas dimana format file yang
dinilai layak masuk di penilaian (berdasarkan uji relevansi dengan aktivitas
akademis dan publikasi) adalah: Adobe Acrobat (.pdf), Adobe PostScript (.ps),
Microsoft Word (.doc) dan Microsoft Powerpoint (.ppt). Data-data ini diambil
menggunakan Google dan digabungkan hasil-hasilnya untuk setiap jenis berkas.
4) Scholar
(Sc): Google Scholar menyediakan sejumlah tulisan-tulisan ilmiah (scientific
paper) dan kutipan-kutipan (citation) dalam dunia akademik. Data Sc ini diambil
dari Google Scholar yang menyajikan tulisan-tulisan ilmiah, laporan-laporan,
dan tulisan akademis lainnya.
Formula
penghitungan dan pembobotannya sendiri adalah seperti di bawah:
Webometrics Rank = (4xV) + (2xS) + (1xR) + (1xSc)
Pada intinya, V, S, R dan Sc adalah faktor penilai, sedangkan 4, 2, 1, 1 adalah
bobot (weight) tiap faktor.
PERPUSTAKAAN:
ADA URUSAN APA DENGAN RANGKING?
Sekarang
timbul pertanyaan, apa urusan perpustakaan dengan rangking-rangking itu? Apa
yang harus dilakukan perpustakaan untuk mendukung universitas meraih rangking
tersebut?
Jika
dicermati dari ke tiga jenis perangkingan yang telah disinggung di atas, ada
benang merah yang dapat dijadikan sebagai indikator dimana perpustakaan
memiliki peran sangat besar, yaitu yang terkait dengan dokumen karya ilmiah dan
sitasi. Perhatikanlah, bahwa ke dua faktor ini muncul sebagai indikator di
ketiga jenis perangkingan itu. Tentu sangat masuk akal mengingat universitas
adalah lembaga pendidikan tinggi yang keseluruhan aktifitasnya sangat berkaitan
dengan penelitian dan pengajaran yang menghasilkan karya-karya ilmiah dalam
bentuk dokumen.
Sebagaimana
dikatakan Romy, bahwa salah satu kunci menduduki rangking di webometrics adalah
bagaimana universitas bisa memperbanyak konten (scientific paper) yang dibagi
ke publik, diindeks di mesin pencari, dan sedikit kepintaran universitas
memainkan Search Engine Optimization (SEO) untuk mengarahkan mesin pencari ke
situs universitas.
Menurut
penulis, memperbanyak konten (scientific paper) dan membaginya ke publik,
adalah urusan perpustakaan. Karya-karya akademik disimpan di perpustakaan dan
jika dikelola dengan tepat melalui pengembangan perpustakaan digital, maka
konten dari universitas tersebut dapat diakses oleh publik yang pada akhirnya
meningkatkan sitasi dan menaikkan rangking.
Beberapa
universitas segera menyadari itu dengan mendorong perpustakaan untuk
memublikasikan konten-konten yang ada di universitas, lalu mengaplikasikan
teknologi yang dapat mengarahkan mesin pencari ke situs universitas. Secara
teknis, hal-hal tersebut dapat dikejar dengan cepat, tapi persoalan-persoalan
non teknis seringkali tidak disentuh oleh para pimpinan universitas sehingga
tetap saja menghambat pencapaian rangking.
Persoalan
pertama: siapa pemilik konten di universitas?
Perpustakaan menerima dan menyimpan karya-karya ilmiah atau tugas akhir sivitas
akademika dalam bentuk: skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian, pidato
pengukuhan, makalah, prosiding seminar, laporan tahunan universitas, dan
koleksi lain yang merupakan koleksi universitas. Sampai sejauh mana
perpustakaan boleh menyebarkan konten ini di dunia maya? Apakah semua koleksi
ini otomatis menjadi milik universitas dan boleh disebarluaskan melalui
internet? Apakah semua konten boleh dibuka fulteksnya ke publik?
Untuk mengatasi hal ini, universitas harus memiliki kebijakan yang jelas untuk
setiap jenis koleksi. Misalnya, untuk tugas akhir, universitas harus
mengeluarkan ketentuan penyerahan karya tugas akhir beserta pernyataan hak
bebas royalti non-eksklusif dari penulis. Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini Universitas berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam
bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan dokumen tersebut
tanpa meminta izin dari penulis. Pernyataan ini harus mendapat persetujuan dari
penulis dengan bukti tanda tangan di lembaran dokumen (tugas akhir atau laporan
penelitian).
Demikian
juga dengan laporan penelitian yang biasanya dilakukan oleh para staf pengajar
dan peneliti. Harus ada persetujuan penyerahan hak publikasi dari para penulis,
lengkap dengan hak akses (bagian mana yang bisa dipublikasikan secara fulteks,
dan bagian mana yang tidak boleh dibuka fulteksnya). Beberapa fakultas atau
peneliti keberatan dengan publikasi fulteks karena menyangkut kerahasiaan
sebuah hasil penelitian, atau mungkin saja penelitian tersebut adalah proyek
rahasia yang memang tidak bertujuan untuk dibuka ke masyarakat luas kecuali
atas ijin peneliti atau penyandang dana penelitian.
Konten yang
paling banyak dan bernilai juga ada pada staf pengajar dan peneliti.
Karya-karya ilmiah mereka biasanya disimpan masing-masing atau di pangkalan
data departemen, tidak di perpustakaan. Sementara situs yang paling familier
diakses pengguna jika ingin mencari informasi adalah situs perpustakaan. Ini
terbukti di Universitas Indonesia, dimana jumlah akses ke situs Perpustakaan UI
lebih banyak daripada jumlah akses ke situs Universitas Indonesia. Artinya apa?
Kalau universitas mau ’menarik’ pengguna mengakses konten-konten yang ada di
universitas tersebut maka konten tersebut sebaiknya ada di perpustakaan,
minimal di link ke situs perpustakaan. Betul, jika pengguna mengakses dari
search engine (Google misalnya), maka tak peduli konten diletakkan dimana,
tetap saja bisa diakses. Namun meletakkan konten di perpustakaan (entah dalam
bentuk fisik atau metadata) akan lebih memudahkan dalam mengelola metadata dan
pengembangan sistem perpustakaan digital universitas tersebut.
Persoalan
kedua: bagaimana kebijakan tugas akhir atau karya akademik?
Perkembangan teknologi memaksa individu atau lembaga untuk terus merevisi
kebijakannya sesuai dengan tuntutan jaman. Di tahun sembilan puluhan,
perpustakaan setia menerima tugas akhir mahasiswa dan karya-karya akademik staf
pengajar dalam bentuk tercetak. Tapi sekarang ini, perpustakaan harus mengubah
kebiasaan tersebut kalau tidak mau repot. Masalahnya, ini erat kaitannya dengan
ketentuan pihak akademik yang mengeluarkan kebijakan pengumpulan tugas akhir.
Kalau dulu perpustakaan adalah pihak yang menerima saja atau tanpa merasakan
dampak kebijakan akademik, sekarang harus ikut berinisiatif memberi masukan ke
pihak akademik mengenai pengumpulan tugas akhir ini.
Perpustakaan
bahkan harus dapat memberikan panduan-panduan teknis serta format yang standar
untuk penulisn tugas akhir mahasiswa. Misalnya bentuk file (apakah dalam word
atau pdf), susunan file (apakah semua bab digabung dalam satu file atau
dipecah-pecah), pengiriman (apakah pakai CD atau boleh dikirim melalui email).
Prosedur dan ketentuan ini harus dipertimbangkan dengan matang sesuai dengan
proses yang dilakukan perpustakaan disaat memublikasikan konten.
Persoalan
ketiga: siapa tim perangkingan di universitas?
Hebohnya perangkingan membuat perguruan tinggi membentuk tim pencapai rangking
dengan beragam sebutan. Tim ARWU, tim THES, tim Webometrcs. Nama tim dibuat
sesuai dengan jenis perangkingan yang menjadi target. Tim-tim ini umumnya
terdiri dari pemilik konten (staf pengajar, peneliti) dan pengembang sistem di
universitas tersebut. Pustakawan sering tidak dilibatkan sama sekali, tapi
ketika rangking tidak juga naik, perpustakaan lah yang pertama disalahkan:
kontennya kurang atau tidak memublikasikan konten!
Akses ke situs universitas akan meningkat jika konten yang disediakan
universitas tersebut juga meningkat. Di beberapa universitas, peningkatan
konten dilakukan dengan sangat emosional, antara lain: memaksa semua sivitas
akademika membuat blog dengan domain lembaga dan mengisi blog-blog tersebut
dengan banyak tulisan. Pemaksaan ini sebetulnya tidak efektif apalagi mendidik.
Bayangkan jika semua sivitas akademika mengisi blog mereka dengan
tulisan-tulisan yang tidak jelas topik dan arahnya. Bukankah ini justru
menimbulkan citra buruk bagi lembaga tersebut? Kontennya banyak, tapi isinya
tidak bermutu….-(
PUSTAKAWAN:
APA YANG HARUS DILAKUKAN?
Mengacu
kepada berbagai permasalahan yang ada berkaitan dengan rangking universitas,
ada beberapa hal yang dapat (atau ’harus’) dilakukan oleh pustakawan supaya
tidak menjadi pihak atau unit yang selalu dipersalahkan.
Pahami
sistem perangkingan. Pelajari
dengan cermat bagaimana sistem perangkingan dilakukan, apa saja faktor yang
dinilai, bagaimana rumusnya, dan kapan periode penilaian dipublikasikan.
Ketahui pula, universitas atau lembaga Anda bisa tercover di penilaian apa?
Apakah di ARWU, THES, atau Webometrics. Pemahaman ini akan membantu pustakawan
menyusun strategi atau langkah-langkah yang tepat untuk membantu universitas
menaikkan rangking.
Tentukan
posisi. Setelah
mempelajari sistem perangkingan, tentunya pustakawan paham posisi atau perannya
dalam mendukung lembaga mencapai rangking yang bagus. Misalnya: mengumpulkan
konten sebanyak-banyaknya, mendigitalisasikan koleksi, mengolah dan mengedit
metadata, dan seterusnya.
Berkomunikasilah.
Jalin
komunikasi yang intensif dengan tim rangking di universitas, khususnya para
pengambil kebijakan. Sampaikan hal-hal yang harus ditempuh, misalnya:
pentingnya pedoman penyerahan tugas akhir secara terintegrasi dengan format
standar sesuai dengan kebutuhan; perlunya kebijakan tertulis dari pimpinan
universitas untuk para staf pengajar supaya menyerahkan soft copy paper mereka
ke perpustakaan untuk diolah dan dipublikasikan perpustakaan setelah mendapat
persetujuan tertulis dari penulis. Belajar juga dari pustakawan yang universitasnya
mendapatkan rangking tinggi. Kumpulkan pengalaman-pengalaman terbaik mereka,
dan bandingkan dengan kondisi di universitas Anda. Pasti ada hal-hal yang dapat
diadopsi di lembaga masing-masing.
Ke tiga hal
di atas harus dilakukan pustakawan kalau mau benar-benar terlibat sebagai
sebuah unit yang menentukan masa depan lembaga. Tidak hanya dalam kasus
rangking universitas, tapi dalam setiap kegiatan di lembaga, ada baiknya
pustakawan terus melakukan berbagai strategi untuk melibatkan diri dalam setiap
proses yang terjadi di lembaganya.
PENUTUP
Secara pribadi penulis menganggap bahwa perangkingan universitas dengan
berbagai model tentulah tidak ada salahnya. Tapi kalau dipikir lebih mendalam,
sistem rangking ini benar-benar menyita energi para pimpinan universitas dan
jajarannya, padahal penilaian tersebut sebetulnya tidak mencerminkan kualitas
pendidikan di universitas tersebut.
Perangkingan
webometrics misalnya, yang semata-mata mengandalkan penilaian pada ’kehidupan’
lembaga di dunia maya. Coba bayangkan, apakah jumlah akses ke situs universitas
ekuivalen dengan tingginya mutu universitas tersebut? Tidak! Herannya, tidak
ada pimpinan universitas di Indonesia yang berani mengatakan: ”Persetan dengan
rangking-rangking itu! Kami hanya ingin fokus ke proses pembelajaran, bukan
pada angka-angka yang mengakses situs kami.!” Para pimpinan universitas malah
seperti kebakaran jenggot setiap kali hasil rangking diumumkan dan rangking
lembaga yang dipimpinnya tidak juga beranjak ke level yang lebih baik.
Perpustakaan
tentu harus mengacu ke visi universitasnya. Apa yang menjadi tujuan
universitas, otomatis menjadi acuan perpustakaan. Memahami sistem perangkingan
dan menempatkan diri pada posisi yang tepat akan membantu perpustakaan
menunjukkan diri sebagai unit yang harus selalu dilibatkan dalam setiap
pengambilan keputusan di universitas. Dan untuk itu, pustakawan harus berjuang,
walau dengan ngos-ngosan….-)
********
DAFTAR
PUSTAKA
Academic
Rangking of World University. http://www.arwu.org/aboutARWU.jsp (diakses tanggal
28 April 2010.)
http://ed.sjtu.edu.cn/rank/2006/ARWU2006Resources.htm
http://isihighlycited.com
http://www.isiknowledge.com
Romy Satrio
Wahono. 2007. Teknik Perangkingan Universitas ala Webometriccs.
http://romisatriawahono.net/2007/09/26/teknik-perangkingan-universitas-ala-webometrics
(diakses tanggal 24 April 2010).
Times Higher
Education. World University Rangking. http://www.timeshighereducation.co.uk
(diakses tanggal 22 Februari 2010)
—————————————–
Oleh: Kalarensi Naibaho (Pustakawan UI)
*) dimuat di Visi Pustaka Vol.12 No. 1 April 2010,
ISSN: 1411-2256 terbitan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Artikel ini diambil dari sumber : Blog.uii.ac.id