Permohonan judicial review mengenai pengucapan
lafal sumpah/ janji bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Rapat
Paripurna DPRD sebelum memangku jabatan, sebagaimana diatur pada Pasal 110 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004),
memasuki tahap pengucapan putusan di Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah dalam
amar putusan menyatakan permohonan Frans Delu tidak dapat diterima.
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Moh.
Mahfud MD saat membacakan amar putusan Nomor 66/PUU-IX/2011, dalam sidang pleno
hakim konstitusi yang digelar pada Rabu (29/1/2012) pagi di gedung MK.
Pasal 110 ayat (2) UU 32/2004 menyatakan: “Demi Allah (Tuhan),
saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan
segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti
kepada masyarakat, Nusa dan Bangsa".
Menurut Frans Delu, lafal sumpah/janji tersebut belum lengkap
serta belum sejalan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 khususnya terkait dengan
bagian terakhir dari Pembukaan UUD 1945. Selain itu juga belum sejalan dengan
semangat dan jiwa rumus sumpah/Janji Presiden/Wakil Presiden sebagaimana diatur
pada Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:“Sumpah Presiden dan Wakil
Presiden:"”Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden
Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada
Nusa dan Bangsa".
“Janji Presiden dan Wakil Presiden:”
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban
Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Indonesia) dengan sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
Undang-Undang dan Peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada
Nusa dan bangsa”.
Seharusnya, menurut Frans, semangat sumpah/janji kepala
daerah/wakil kepala daerah sejiwa dengan sumpah/janji Presiden dan Wakil
Presiden. Sebab, kepala daerah/wakil kepala daerah merupakan bagian dalam
kekuasaan dan pemerintahan negara. Bahkan rumusan janji Presiden dan Wakil
Presiden tersebut tidak didahului ucapan “Demi Allah”.
Mahkamah berpendapat, sumpah kepala daerah dan wakil kepala daerah
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 110 ayat (2) UU 32/2004, maka sumpah
tersebut adalah peneguhan kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk: memenuhi
kewajiban dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya; memegang teguh UUD 1945;
menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya; dan berbakti
kepada masyarakat, nusa, dan bangsa.
Mahkamah juga berpendapat, terdapat persamaan antara lafal sumpah
yang ada dalam Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 dan lafal sumpah yang ada dalam Pasal
110 ayat (2) UU 32/2004. Perbedaannya hanya terletak pada jabatannya, yaitu
Presiden/Wakil Presiden diganti menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
Dilaksanakannya sumpah atau tidak oleh kepala daerah
dan wakil kepala daerah merupakan tanggung jawab dari kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang mengangkat sumpah dengan nama Allah Subhânahû wa
Ta’âlâ, Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan
hak konstitusional Frans Delu baik secara aktual maupun potensial. Pemohon
tetap dapat melaksanakan haknya yang ditentukan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal
28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Selain itu, mengubah lafal
sumpah menurut Mahkamah, lebih tepat merupakan kewenangan dari pembentuk
Undang-Undang untuk mengubahnya (legislative review).
Mahkamah tidak berwenang untuk mengubah lafal sumpah sesuai dengan keinginan
Frans. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, tidak terdapat kerugian
konstitusional yang diderita Frans akibat berlakunya ketentuan Pasal 110 ayat
(2) UU 32/2004. (Nur Rosihin Ana/mh)
Sumber dari Mahkamah Konstitusi Indonesia